Cute Panda

OBAT GINJAL (DIURETIK)

Diuretik adalah obat yang dapat menambah kecepatan pembentukan urin dengan cara menurunkan reabsorpsi di tubulus renalis dengan berbagai cara.
Istilah diuresis mempunyai dua pengertian, pertama menunjukkan adanya penambahan volume urine yang di produksi dan yang kedua menunjukkan jumlah pengeluaran (kehilangan) zat-zat terlarut dan air. Fungsi utama diuretik adalah untuk memobilisasi cairan udem, yang berarti mengubah keseimbangan cairan sedemikian rupa sehingga volume cairan ekstrasel kembali menjadi normal.

Pengaruh diuretik terhadap ekskresi zat terlarut penting artinya untuk menentukan tempat kerja diuretik dan sekaligus untuk meramalkan akibat penggunaan suatu diuretik. Secara umum diuretik dapat dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu :
1)      Diuretik osmotik
2)      Penghambat mekanisme transport elektrolit di dalam tubuli ginjal
Obat yang dapat menghambat transport elektrolit di tubuli ginjal adalah :         
1)      Penghambat karbonik anhidrase
2)      Benzotiadiazid
3)      Diuretik hemat kalium
4)      Diuretik kuat

DIURETIK OSMOTIK

Diuretik osmotik → meningkatkan osmaliritas plasma dan cairan dalam tubulus ginjal → Na, Cl, K, air diekresikan. Suatu zat dapat bertindak sebagai diuretik osmotik apabila memenuhi 4 syarat :
1)      Di filtrasi secara bebas oleh glomerulus
2)      Tidak atau hanya sedikit direabsorpsi sel tubuli ginjal
3)      Secara farmakologis merupakan zat yang inert
4)      Umumnya resisten terhadap perubahan-perubahan metabolik
Cara kerja diuretik osmotik:
1)      Tubuli proksimal → penghambatan reabsorbsi Na dan air melalui daya osmotiknya
2)      Ansa Henle → penghambatan reabsorbsi Na dan air oleh karena hipertonisitas daerah medula menurun
3)      Ductus koligentis → penghambatan reabsorbsi Na dan air akibat adanya papilary wash out, kecepatan aliran filtrat yang tinggi atau adanya faktor lain.
Contoh golongan obat ini adalah manitol, urea, gliserin, isosorbid.
Manitol paling sering digunakan diantara obat ini, karena manitol tidak mengalami metabolisme dalam badan dan hanya sedikit sekali direabsorpsi tubuli bahkan praktis dianggap tidak direabsorpsi. Substansi yang tidak di metabolisme, difiltrasi bebas di glomerulus dan tidak direabsorpsi dalam jumlah yang signifikan di tubulus ginjal. Untuk terapi edema yg resisten, edema serebral, keracunan barbiturat, salisilat, karbontetraklorida, bromida dan imipramin, peningkatan TIK dan TIO, profilaksis sblm & sesudah prostatektomi, cegah gagal ginjal pada reaksi transfusi. Mannitol sebabkan hipotensi, dehidrasi, hilangnya elektrolit, asidosis dan tromboplebitis, sakit kepala, mual, muntah.
Manitol harus diberikan secara IV, jadi obat ini tidak praktis untuk pengobatan udem kronik. Pada penderita payah jantung pemberian manitol berbahaya, kerana volume darah yang beredar meningkat sehingga memperberat kerja jantung yang telah gagal.
EFEK NONTERAPI
Manitol di distribusikan ke cairan ekstra sel, oleh karena itu pemberian larutan manitol hipertonis yang berlebihan akan meningkatkan osmolaritas cairan ekstraseluler, sehingga secara tidak diharapkan akan terjadi penambahan jumlah cairan ekstraseluler.
SEDIAAN DAN POSOLOGI
Manitol. Untuk suntikan intravena digunakan larutan 5-25% dengan volume antara 50-1000ml. Dosis untuk menimbulkan diuresis adalah 50-200g yang diberikan dalam cairan infus selama 24 jam dengan kecepatan infus sedemikian, sehingga diperoleh diuresis sebanyak 30-50ml per jam. Untuk penderita dengan oliguria hebat diberikan dosis percobaan yaitu 200mg/kgBB yang diberikan melalui infus selama 3-5 menit. Bila dengan 1-2 kali dosis percobaan diuresis masih kurang dari 30ml per jam dalam 2-3 jam, maka status pasien harus di evaluasi kembali sebelum pengobatan dilanjutkan.
Urea. Suatu kristal putih dengan rasa agak pahit dan mudah larut dalan air. Merupakan agen diuretik osmotik, disaring bebas pada glomerulus dan direabsorpsi terbatas pada tubulus renalis. Sediaan intravena mengandung urea sampai 30% dalam dekstrose 5% (iso-osmotik) sebab larutan urea murni dapat menimbulkan hemolisis. Pada tindakan bedah saraf, urea diberikan intravena dengan dosis 1-1,5g/kgBB. Sebagai diuretik, urea potensinya lebih lemah dibandingkan dengan manitol, karena hampir 50% senyawa urea ini akan direabsorbsi oleh tubuli ginjal. Efek samping lainya antara lain aritmia, hemolisis, dan rentan perdarahan.
Gliserin. Diberkan per oral sebelum suatu tindakan optalmologi dengan tujuan menurunkan tekanan intraokuler. Dipakai untuk menurunkan edema serebral dan menurunkan TIO pada operasi mata. Gliserin digunakan pada cairan infus 10 % gliserin dalam larutan dekstrosa 5 %. Gliserin 10 % menjadi larutan hiperosmolalitas saat diberikan intra vena, menyebabkan hiperosmolalitas darah dan disusul urin. Dosis biasanya 1-1,5 g/KgBB dengan konsentrasi larutan oral 50-75 %. Efek maksimal terlihat 1 jam sesudah pemberian obat dan menghilang sesudah 5 jam.
Isosorbid. Diberikan secara oral untuk indikasi yang sama dengan gliserin. Efeknya juga sama, hanya isosorbid menimbulkan diuresis yang lebih besar daripada gliserin, tanpa menimbulkan hiperglikemia. Dosis berkisar antara 1-3g/kgBB, dan dapat diberikan 2-4 kali sehari.

PENGHAMBAT KARBONIK ANHIDRASE

Karbonik anhidrase adalah enzim yang terdapat di dalam sel korteks renalis, pankreas, mukosa lambung, mata, eritrosit dan SSP, tetapi tidak terdapat dalam plasma. Derivat sulfonamid yang juga dapat menghambat kerja enzim ini adalah asetazolamid dan diklorofenamid.
FARMAKODINAMIK
Efek farmakodinamik yang utama dari asetozolamid adalah penghambatan karbonik anhidrase secara nonkompetitif. Akibatnya terjadi perubahan sistemik dan perubahan terbatas pada organ tempat enzim tersebut berada.
1)      Ginjal.
2)      Susunan cairan plasma.
3)      Mata.
4)      Susunan Saraf Pusat.
5)      Pernafasan.
FARMAKOKINETIK
Asetazolamid mudah diserap melalui saluran cerna, kadar maksimal dalam darah dicapai dalam 2 jam dan ekskresi melalui ginjal sudah sempurna dalam 24 jam.
EFEK NONTERAPI DAN KONTRAINDIKASI
Intoksikasi asetazolamid jarang terjadi. Pada dosis tinggi dapat timbul parestesia dan kantuk yang terus-menerus. Asetazolamid mempermudah pembentukan batu ginjal karena berkurangnya ekskresi sitrat, kadar kalsium dalam urin tidak berubah atau meningkat. Asetazolamid sebaiknya tidak diberikan selama kehamilan, kerena pada hewan cobra obat ini dapat menimbulkan efek teratogenik.
INDIKASI
Penggunaan asetazolamid yang utama ialah untuk menurunkan tekanan intraokuler pada penyakit glaukoma. Asetazolamid jarang digunakan sebagai diuretik, tetapi dapat bermanfaat untuk alkalinisasi urin sehingga mempermudah ekskresi zat organik yang bersifat asam lemah.
SEDIAAN DAN POSOLOGI
Asetazolamid tersedia dalam bentuk tablet 125 mg dan 250 mg untuk pemberian oral. Dosis antara 250-500 mg per kali, dosis untuk chronic simple glaucoma  yaitu 250-1000 mg per hari.
Dosis dewasa untuk acute mountain sickness yaitu 2 kali sehari 250 mg, dimulai 3-4 hari sebelum mencapai ketinggian 3000 m atau lebih, dan dilanjutkan untuk beberapa  waktu sesudah dicapai ketinggian tersebut.
Dosis untuk paralisis periodik yang bersifat familier (familial periodic paralysis) yaitu 250-750 mg sehari dibagi dalam 2 atau 3 dosis, sedangkan untuk anak-anak 2 atau 3 kali sehari 125 mg.
Diklorofenamid dalam tablet 50 mg, efek optimal dapat dicapai dengan dosis awal 200 mg sehari, serta metazolamid dalam tablet 25 mg dan 50 mg dan dosis 100-300 mg sehari, tidak terdapat dipasaran.

BENZOTIADIAZID

Sintesis golongan ini merupakan hasil dari penelitian zat penghambat enzim karbonik anhidrase. Prototipe golongan benzotiadiazid ialah klorotiazid, yang merupakan obat tandingan pertama golongan Hg-organik, yang telah mendominasi diuretik selama lebih dari 30 tahun.
FARMAKODINAMIK
Efek farmakodinamik tiazid yang utama adalah meningkatkan ekskresi natrium, klorida dan sejumlah air. Efek natriuresis dan kloruresis ini disebabkan oleh penghambatan mekanisme reabsorpsi elektrolit pada hulu tubuli distal (early distal tubule). Pada penderita hipertensi, tiazid menurunkan tekanan darah bukan saja efek diuretiknya, tetapi juga karena efek langsung terhadap arteriol sehingga terjadi vasodilatasi. Pada penderita diabetes insipidus, tazid justru mengurangi diuresis. Mekanisme antidiuretiknya belum diketahui dengan jelas dan efek ini kita jumpai baik pada diabetes insipidus nefrogen, maupun yang disebabkan oleh kerusakan hipofisis posterior.
FARMAKOKINETIK
Absorpsi tiazid melalui saluran cerna baik sekali. Umumnya efek obat tampak setelah satu jam. Klorotiazid didistribusikan krseluruh ruang ekstrasel dan dapat melewati sawar uri, tetapi obat ini hanya ditimbun dalam jaringan ginjal saja. Dengan suatu proses aktif, tiazid diekskresi oleh sel tubuli proksimal kedalam cairan tubuli. Jadi bersihan ginjal obat ini besar sekali, biasanya dalam 3-6 jam sudah diekskresi dari badan.
EFEK SAMPING
1)      Intoksikasi jarang terjadi
2)      Reaksi alergi (karena penyakitnya sendiri): purpura, dermatitis, fotosensitive dan kelainan darah
3)      Kadar Na, K, Cl diperiksa berkala
4)      Memperberat insufisiensi ginjal.
INDIKASI
1)      Payah jantung ringan – sedang
2)      Pada pengobatan digitalis kombinasi dengan diuretik hemat K → mencegah hipokalemi dan intoksikasi digitalis
3)      Hipertensi
4)      Diabetes insipidus

DIURETIK HEMAT KALIUM

Yang tergolong dalam kelompok ini adalah antagonis aldosteron, triamteren dan amilorid. Efek diuretiknya tidak sekuat golongan diuretik kuat.

ANTAGONIS ALDOSTERON
Aldosteron adalah mineralokortikoid endogen yang paling kuat. Aldosteron atau mineralokortikoid → memperbesar reabsorbsi Na dan Cl di tubuli serta memperbesar ekskresi K.
FARMAKOKINETIK
70% spironolakton oral diserap di saluran cerna, mengalami sirkulasi enterohepatik dan metabolisme lintas pertama. Ikatan dengan protein cukup tinggi.
EFEK SAMPING
Efek toksik yang utama dari spironolakton adalah hiperkalemia yang sering terjadi bila obat ini diberikan bersama-sama dengan asupan kalium yang berlebihan. Tetapi efek toksik ini dapat pula terjadi bila dosis yang biasa diberikan bersama dengan tiazid pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal yang berat. Efek samping lain yang ringan dan reversible diantaranya ginekomastia, efek samping mirip androgen dan gejala salura cerna.
INDIKASI
Antagonis aldosteron digunakan secara luas untuk pengobatan hipertensi dan udem yang refraktor. Biasanya obat ini dipakai bersama diuretik lain dengan maksud mengurangi efek kalium, disamping memperbesar diuresis.
SEDIAAN DAN DOSIS
Spironolakton terdapat dlam bentuk tablet 25,50 dan 100 mg. Dosis dewasa  berkisar antara 25-200 mg, tetapi dosis efektif sehari-hari rata-rata 100 mg dalam dosis tunggal atau terbagi.terdapat pula sediaan kombinasi tetap antara sprironolakton 25 mg dan hidroklorotiazid 25 mg dan, serta antara spironolakton 25 mg dan tiabutazid 2,5 mg.

TRIAMTEREN
Diuretik kuat. Bekerja meningkatkan ekskresi natrium, namun kehilangan kalium saat bekerja di tubulus distalis ginjal. Digunakan pada pasien dengan gagal jantung, sirosis dan sindrom nefrotik. Hanya digunakan secara oral. Dosis rata2 100-200 mg / hr dalam dosis terbagi. Efeknya mulai terlihat setelah 2 jam, bertahan sekitar 12-16 jam. Kombinasi dengan diuretik lainnya (tiazid) dapat membantu ekskresi kalium dan asam urat. Menyebabkan hiperkalemi. Triamteren dapat pula sebabkan mual, muntah , kesemutan pada tungkai bawah, dan rasa pusing.

AMILORID
Menghambat kanal natrium pada tubulus distalis yang sehingga terjadi diuresis tanpa resiko hilangnya kalsium, kerjanya tidak dipengaruhi aldosteron dan digunakan untuk gagal jantung kronik dan hipertensi ringan kombinasi dengan tiazid atau diuretik loop. Efek samping amilorid yaitu hiperkalemia, mual, muntah, diare, dan sakit kepala. Dosis biasanya adalah 2,5-20 mg, durasi kerjanya 4-5 hari, obat ini dapat di minum peroral dengan tingkat absorpsi 70 %.

DIURETIK KUAT

Diuretik kuat (high-ceiling diuretics) mencakup sekelompok diuretic yang efeknya sangat kuat dibandingkan dengan diuretic lain. Termasuk dalam kelompok ini adalah asam etakrinat, furosemid dan bumetanid.
CARA KERJA
Secara umum dapat dikatakan bahwa diuretik kuat mempunyai mulai kerja dan lama kerja yang lebih pendek dari tiazid. Hal ini sebagian besar ditentukan oleh faktor farmokokinetik dan adanya mekanisme kompensasi. Diuretik kuat terutama bekerja dengan cara menghambat reabsorpsi elektrolit di ansa henle asenden bagian epitel tebal, tempat kerjanya dipermukaan sel epitel bagian luminal (yang menghadap ke lumel tubuli). Pada pemberian secara IV obat ini cederung meningkatkan aliran darah ginjal tanpa disertai peningkatan filtrasi glomerulus.
Furosemid dan bumetamid mempunyai daya hambat enzim karbonik anhidrase  karena keduanya merupakan derivate sulfonamide, seperti juga tiazid dan asetazolamid, tetapi aktivitasnya terlalu lemah untuk menebabkan diuresis di tubuli proksimal. Asam etakrinat tidak menghambat enzim karbonik anhidrase.
Ketiga obat ini juga menyebabkan meningkatnya ekskresi K+ dan kadar asam urat plasma, mekanismenya kemungkinan besar sama dengan tiazid. Ekskresi Ca++ dan Mg++ juga ditingkatkan sebanding dengan peninggian ekskresi Na+.
Diuretik kuat meningkatkan ekskresi asam yang dapat dititrasi (titratable acid) dan ammonia. Fenomena yang diduga terjadi karena efeknya di nefron distal ini merupakan saah satu faktor penyebab terjadinya alkalosis metabolic. Bila mobilisasi cairan udem terlalu cepat, alkalosis metabolic oleh deuretik kuat ini terutama terjadi akibat penyusutan volume cairan ekstrasel. Sebaliknya pad penggunaan yang kronik, faktor utama penyebab alkalosis ialah besarnya asupan garam dan ekskresi H+ dan K+. alkalosis ini sering sekali disertai dengan hiponatremia, tetapi masing-masing disebabkan oleh mekanisme yang berbeda.
FARMAKOKINETIK
Ketika obat mudah diserap melalui saluran cerna dengan derajat yang agak berbeda-beda. Bioavailabilitas fursemid 65% sedangkan bumetanid hampir 100%. Deuretik  kuat terikat pada protein plasma secara ekstensif, sehingga tidak difiltrasi di glomerulus tetapi cepat sekali disekresi melalui system transport asam organic di tubuli proksimal.
Kira-kira 2/3 dari asam etrakinat yang diberika secara IV diekskresi melalui ginjal dalam bentuk utuh dan dalam konjugasi dengan senyawa sulfhidril terutama sistein dan N-asetil sistein. Sebagian lagi diekskresi melalui hati.
EFEK SAMPING
Efek samping asam atakrinat dan furosemid dapat dibedakan atas:
(1)    Reaksi toksik berupa gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit yang sering terjadi dan
(2)    Efek samping yang tidak berhubungan dengan kerja utamanya jarang terjadi.
Hiperuresemia relative sering terjadi, namun pada kebanyakan penderita hal ini hanya merupakan kelainan biokimia. Dapat pula terjadi reaksi berupa gangguan saluran cerna, depresi elemen darah, rash kulit, parestesia dan difungsi hati. Gangguan saluran cerna lebih sering terjadi dengan asam etakrinat daripada furosemid. Furosemid dan tiazid diduga dapat menyebabkan nefritis interstisialis alergik yang menyebabkan gagal ginjal reversibel juga terjadi penurunan konsentrasi karbohidrat, tetapi lebih ringan daripada tiazid.
Asam etakrinat dapat menyebabkan ketulian sementara maupun menetap, dan hal ini merupakan efek samping yang serius. Ketulian sementara juga dapat terjadi pada furosemid dan lebih jarang pada bumetanid. Ototoksisitas merupakan suatu efek samping unik kelompok obat ini. Bila karena suatu hal diperlukan pemberian obat yang juga bersifat ototoksik misalnya aminoglikosid, maka sebaliknya dipilih diuretik yang lain, misalnya tiazid.
Duiretik kuat dapat berinteraksi dengan warfarin klofibrat melalui penggeseran ikatannya dengan protein. Pada penggunaan kronis diuretik kuat ini dapat menurunkan bersihan litium. Penggunaan bersama dengan sefalosporin dapat meningkatkan nefrotoksisitas sefalosporin. Antiinflamasi nonsteroid terutama indometasin dan kortikosteroid melawan kerja furosemid.
SEDIAAN DAN POSOLOGI
a.       Asam etakrinat. Tablet 25 dan 50 mg digunakan dengan dosis 50-200 mg per hari. Sediaan IV berupa Na-etakrinal, dolsisnya 50mg atau 0,5-1 mg/kgBB
b.      Furosemid. Obat ini tersedia dalam bentuk tabletb20, 40, 80 mg dan preparat suntikan. Umumnya pasien membutuhkan kurang dari 600 mgg/hari.  Dosis anak 2 mg/kgBB, bila perlu dapat ditingkatkan menjadi 6 mg/kgBB.
c.       Bumetanid. Tablet 0,5 dan 1 mg digunakan dengan dosis dewasa 0,5-2 mg sehari. Dosis maksimal perhari 10mg. obat ini tersedia juga dalam bentuk bubuk injeksi dengan dosis IV atau IM dosis awal atara 0,5-1 mg: dosis diulang 2-3 jam maksimum 10 mg/hari.

XANTIN

Xantin ternyata juga mempunyai efek diuresis. Efek stimulasinya pada fungsi jantung, menimbulkan dugaan bahwa deuresis sebagai disebabkan oleh meningkatnya aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus. Namun semua derivate xantin ini rupanya juga berefek langsung pada tubuli ginjal, yaitu menyebabkan peningkatan ekskresi Na+ dan Cl- tanpa disertai perubahan yang nyata pada pengasaman urin. Diantara kelompok xantin teofilin memperlihatkan efek diuresis yang paling kuat. Xantin sangat jarang digunakan sebagai diuretik utama, namun bila digunakan untuk tujuan lain terutama sebagai nbronkokodilator, adanya efek diuresis harus tetap dingat.

PENGOBATAN DENGAN DIURETIK

INDIKASI
Diuretik digunakan untuk menurunkan volume dan cairan interstisial dengan cara meningkatkan ekskresi natrium klorida dan air. Bila diuretik diberikan secara akut, akan terjadi kehilangan natrium lebih banyak daripada jumah natrium yang masuk dan makanan. Tetapi pada penggunaaan kronis akan dicapai keseimbangan, sehingga natrium yang keluar sama dengan diet rendah garam.
KEADAAN YANG MEMERLUKAN DIURESIS CEPAT
Pada udem paru, pemberian furosemid atau asam etakrinat IV dapat menyebabkan dieresis cepat. Perbaikan yang terjadi sebagian mungkin disebabkan oleh adanya perubahan hemodiamik yaitu perubahan pada daya tamping vena (venous capacintance), tetapi efek diuresisnya tetap diperlukan untuk mempertahnkan hasil tersebut.
EFEK SAMPING
Hipokalemia Diuretik dengan tempat kerja di segmen dilusi distal, ansa henle bagian asenden dari tubuli proksimal dapat menyebabkan kehilangan kalium. Rasio kehilangan kalium dan natrium lebih besar pada penggunaan tiazid dari pada furosemid, mungkin karena furosemid tidak mempunyai aktivitas penghambat karbonak anhidrase. Tetapi furosemid mempunyai efek natriuresis lebih kuat, sehingga biasanya akan dikuti deplesi kalium.
Penggunaan tiazid dosis kecil pada hipertensi, misalnya dengan klorotiazid 500 mg/hari atau klortaidon 25 mg/hari tidak akan banyak mempengaruhi kadar kalium atau asam urat plasma. Tetapi dengan dosis lebih besar pada pengobatan udem, perlu diadakan pemantauan kadar kalium dalam serum.
a.      Hiperurisemia. Hampir semua diuretik menyebabkan peningkatan kadar asam urat dalam serum melalui pengaruh langsung terhadap sekresi asam urat dan efek ini berbanding lurus dengan dosis diuretik yang digunakan. Hiperurisemia dapat diperbaiki dengan pemberian alopurinol atau probenesid.
b.      Gangguan toleransi glukosa dan diabetes. Tiazid dan furosemid dapat menyebabkan gangguan toleransi glukosa terutama pada penderita diabetes laten, sehingga manifestasi diabetes.
c.       Hiperkalsemia. Tiazid dapat mengakibatkan peninggian kadar kalsium serum.
d.      Hiperkalemia. Diuretik hemat kalium dapat mengakibatkan hiperkalemia yang dapat merupakan komplikasi yang fatal. Oleh karena itu obat golongan ini tidak boleh diberikan dengan dosis berlebihan dan juga tidak boleh diberikan pada penderita gagal ginjal.
e.       Sindrom udem idiopatik. Penggunaan diuretik kuat pada keadaan ini kadang-kadang justru menyebabkan retensi garam dan air. Dengan menghentikan pemberian diuretik, biasanya dalam waktu 5-10 hari akan timbul dieresis.
f.       Volume depletion. Pemberian diuretik kuat pada penderita gagal jantung berat dapat mengakibatkan berkurangya volume darah yang beredar secara akut.
g.      Hiponatremia. Hiponatremia ringan yang sering kali terjadi tidak menimbulkan masalah. Hiponatremia mudah terjadi pada penggunaan furosemid dosis besar bersama diuretik lain yang bekerja di tubuli distal. Keadaan ini akan lebih berat bila penderita juga dianjurkan pantang garam tetapi bebas minum air.
INTERAKSI
Pada penggunaan diuretik bersama obat-obat lain, harus selalu dipikirkan adanya interaksi yang mungkin terjadi. Beberapa contoh penting tertera dalam Tabel berikut ini.

Referensi :

  1. Katzung, Bertram G. 1997. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi 6. EGC: Jakarta 
  2. Deglin, Vallerand. 2005. Pedoman Obat Untuk Perawat. EGC: Jakarta 
  3. Ganiswarna. 1995. Farmakologi dan Terapi. FKUI: Jakarta
  4. Kee, Hayes. 1996. Farmakologi Pendekatan Proses Keperawatan.EGC: Jakarta
  5. Neal,Michael J.2006.At a Glance Farmakologi Medis edisi ke lima.Erlangga: Jakarta 
  6. Tambayong, dr. Jan.2001.Farmakologi untuk Keperawatan.Widya Medika: Jakarta